5 CONTOH TEKS ULASAN SMA/MA LENGKAP
Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis
Tradisi
film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada kecenderungan
film-film musikal klasik tahun 1930—1960- an, berpaku pada hal-hal yang
berlawanan (oposisi biner), terutama berkaitan dengan gender, ras, agama, latar
belakang, atau temperamen. Tradisi oposisi biner tersebut
tampak
dalam film musikal anak-anak “Rumah Tanpa Jendela”. Film tersebut diadaptasi
dari cerpen “Jendela Rara” karya Asma Nadia.
Kisah
dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam dongeng moral berjudul
The Prince
and The Pauper karya Mark Twain. Sang pangeran adalah tokoh Aldo, seorang anak
laki-laki dari keluarga kayaraya dengan sindrom mental, yang membuatnya
mengalami “penolakan” dari komunitasnya (anggota keluarga). Aldo mewakili ide
paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tetapi
jiwanya kering dan mengakibatkan dilema personal. Sementara itu, si miskin
diwakili oleh tokoh Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung
di sanggar lukis
tempat Aldo
belajar. Rara tinggal di sebuah rumah tidak berjendela yang terbuat dari seng,
tripleks, dan kayu bekas di salah satu kawasan permukiman kumuh. Rumah itu
ditempati Rara bersama nenek (Si Mbok) dan ayahnya. Kondisi rumah tersebut
membuat Rara terobsesi untuk memiliki sebuah rumah
berjendela.
Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Mengikuti
tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara tidak
sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil. Sejak saat itu, mereka bersahabat.
Persahabatan tersebut bukan hanya pertemanan antarindividu, melainkan pertemuan
dua kutub latar belakang status sosial yang berbeda. Hal itu tergambar pada
kondisi keluarga Aldo dan teman-teman Rara, antara si miskin dan si kaya.
Persahabatan
Aldo dan
Rara tidak berjalan mulus. Ibu dan kakak perempuan Aldo menganggap teman-teman
baru Aldo sebagai perusak ketenangan di rumah mereka. Sementara itu, kemewahan
rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan obsesi untuk memiliki rumah
berjendela di kalangan teman-teman Rara.
Layaknya
dongeng anak-anak dalam majalah Bobo, film
“Rumah Tanpa Jendela” menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi
realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik
secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/mental. Fungsi ideologis
yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang
diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun, permasalahan dari film musikal
anakanak adalah bahwa ia menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film
agar bisa dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan
melakukan
penyederhanaan. Penyederhanaan posisi berlawanan si miskin dan si kaya
terwakili oleh narasi sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki
berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir,
pembantu, dan sekolah khusus). Sementara itu, Rara mewakili narasi kemiskinan
dalam
segala
keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya, dan kerja
sampingan. Oleh sebab itu, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini
adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
Dalam
film “Rumah Tanpa Jendela” sikap moral yang disarankan kepada penonton adalah
bersyukur. Rara menginginkan hal yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu
kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara mengakses ini dan
bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku,
dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai
sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan kompensasi yang
harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam
kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan
rumahnya habis
terbakar,
Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia. Keinginan Rara untuk
memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah
dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang
menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai orang yang tidak berpunya.
Lebih
jauh lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa
dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka
punyai (harta dan keluarga yang utuh), sementara ada orang-orang yang tidak
berpunya seperti Rara. Oleh karena itu, untuk “membayar” pelajaran yang mereka
dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan Si Mboknya dengan membayarkan biaya
rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta.
Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu
mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara
dekat.
Dalam
model utopia (khayalan) yang terdapat di dalam film tersebut, anakanak menjadi
“penanda” dari kelahiran atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki
anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang alami dengan lebih menekankan
cara menghadapi permasalahan alih-alih mempertanyakan penyebabnya. Hal ini
paling tampak dalam posisi biner permasalahan Aldo dan Rara. Kekurangan pada
diri Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan
Rara sehingga membuat kemiskinan ternaturalisasikan lewat logika pemahaman yang
sama, alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung
negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela
dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena.
Jendela memungkinkan seseorang untuk mengakses dunia lain (dari dalam atau dari
luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan
terlibat jika dibandingkan dengan pintu yang menyediakan akses untuk
masuk/keluar. Jendela adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu
kondisi. Dengan si miskin berlapang dada menerima kondisinya dan si kaya
belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, masyarakat borjuis yang sempurna
dan harmonis akan tercipta.
Dongeng
semacam inilah yang ditawarkan “Rumah Tanpa Jendela” pada penonton yang mereka
sasar, tidak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu mengakses
bioskop sebagai bagian dari leisure activity.
Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka
nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa
meneruskan tatanan masyarakat, yang kemiskinan dan kekayaan ternaturalisasi
sebagai takdir dan karenanya tidak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam
kondisi itulah, si kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya
diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata.
Sayang,
sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang
dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini, kecuali penekanan dramatis belaka.
Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal
dan gerak kamera serta editing yang kadang
hiperaktif adalah energi dan semangat kanakkanak. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo). Penekanan
pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film musikal klasik
Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik
relasi interkomunitas (konflik keluarga Aldo) maupun antarkomunitas (konflik
antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
Penggambaran
kemiskinan dalam film tersebut tidak berlebihan. Film tersebut menggambarkan
keluarga baik-baik dan protektif untuk meyakinkan bahwa pergaulan Rara terbebas
dari eksploitasi maupun perilaku destruktif yang merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai
perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia, mengingat
film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada
diri sendiri (self-reference).
Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep “film yang menghibur” sebagai
utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut siapa?
Dari
paparan tadi, dapat disimpulkan bahwa film “Rumah Tanpa Jendela” memungkinkan
kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal
klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model utopia dalam merespons kondisi
masyarakat Indonesia yang terfragmentasi
dalam
kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang
dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Belajar Ikhlas dari “Hafalan Shalat Delisa”
Pagi
hari dalam sebuah ruang sekolah di Lhok Nga, desa kecil di Pantai Aceh, pada 26
Desember 2004, Delisa (Chantiq Schagerl) berupaya khusyu menjalankan praktik
shalat di depan Ustad Rahman dan Ustazah Nur yang mengujinya. Ibunya, Ummi
Salamah (Nirina Zubir), bersama beberapa ibu lainnya menyaksikan dari luar
jendela. Ucapan Sang Ustad sebelumnya agar dia tetap fokus pada shalat meski
apapun yang terjadi di sekelilingnya benarbenar ditaati gadis kecil itu.
Termasuk juga gempa yang mengguncang dan plafon atap mulai berjatuhan. Bahkan
ketika ustad Rahman dan guru penguji lain lari keluar dan teriakan panik ibunya
tidak membuatnya beranjak. Dia tetap membaca doa shalat yang dihafalnya. Air
bah tsunami pun meluluhlantakkan tempat itu dan menenggelamkan Delisa.
Scene
yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa”—jangan
bandingkan dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami
tersebut— membuat saya terhenyak. Seandainya saja saya yang shalat pada saat
terjadi bencana, apakah saya akan lari atau tetap shalat dengan risiko mati
dalam keadaan shalat sulit dibayangkan. Film berlatar belakang bencana tsunami
yang melanda Aceh dan berbagai tempat di Asia Tenggara ini menewaskan ratusan
ribu jiwa dan meninggalkan duka yang mendalam.
Film
ini dibuka dengan beberapa adegan manis dua hari sebelum malapetaka itu. Delisa
tinggal bersama Ummi dan tiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), dan si
kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi). Abi Usman,
ayahnya (Reza Rahadian), bekerja di sebuah kapal tangker asing nun jauh dari
tempat tinggal mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan shalat,
dibangunkan
shalat subuh juga susah. Umminya sampai menjanjikan sebuah kalung berhuruf D
yang dibeli dari toko milik Koh Acan (dimainkan dengan menarik oleh Joe P
Project), jika Delisa lulus ujian praktik shalat. Seperti anakanak kecil
umumnya, Delisa senang bermain. Dia ingin belajar bersepeda dari
Tiur dan
bermain bola dengan Umam. Saya suka dengan akting Nirina Zubir yang mampu
menghidupkan spontanitas seorang ibu ketika Aisyah cemburu pada Delisa atau
Delisa sedang sedih. Ia juga menjadi imam ketika shalat bersama putri-putrinya.
Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu membuat suasana
hidup. Segmen ini milik Nirina.
Setelah
tsunami menghantam, Delisa diselamatkan seorang ranger
(tentara) Amerika Serikat bernama Smith (Mike Lewis).
Sayang, kaki Delisa harus diamputasi. Dia juga dikenalkan dengan Sophie,
relawan asing lainnya yang bersimpati pada Delisa. Delisa tahu bahwa ketiga
kakaknya sudah pergi ke
surga, juga
Tiur dan ibunya, serta ustazah Nur. Semua digambarkan dengan surealis melintas
sebuah gerbang di lepas pantai menunju negeri dengan mesjid yang indah. Namun
keberadaan ibunya masih misteri. Melihat keadannya, Smith ingin mengadopsi
Delisa. Lelaki itu ingat putrinya yang mati dalam
kecelakaan
bersama ibunya. Namun kemudian ayahnya datang. Dia kemudian harus membangun
hidupnya kembali bersama putrinya sebagai single parent.
“Hafalan
Shalat Delisa” tidak terjebak dengan melodrama yang
klise. Ada kesedihan yang membuat air mata keluar, tetapi hidup tetap harus
berjalan. Delisa dengan kaki satu berupaya tegar, termasuk juga membangkitkan
semangat Umam yang remuk dengan bermain bola. Gadis ini juga member inspirasi
pada ustad Rahman yang sempat patah semangat. Percakapan ustad Rahman dengan
Sophie di kamp pengungsi menjadi adegan menyentuh lainnya. “Mengapa Allah
menurunkan bencana ini?” Kira-kira demikian keluhan ustad itu. Sophie menjawab,
“Coba tanya Delisa. Dia kehilangan tiga
kakaknya,
ibunya, sebelah kakinya, tetapi dia ingin bermain bola.”
Pada
segmen ini, akting Chantiq Schagerl memukau. Aktingnya mengingatkan pada Gina
Novalista dalam “Mirror Never Lies” yang
menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011. Dia mampu mengimbangi akting Reza
Rahadian yang memang gemilang sebagai seorang ayah yang sempat remuk hatinya. Scene
ketika ayahnya membawa Delisa di reruntuhan rumah mereka
sangat menggigit. “Abi akan bangun rumah kita lagi!” dengan tegas ayahnya
berkata. Adegan ketika Usman gagal membuat nasi goreng yang seenak buatan Ummi
juga menarik. Betapa susahnya menjadi single parent bagi
seorang laki-laki. Termasuk ketika air mata saya tidak bisa dibendung lagi
melihat adegan Delisa memeluk ayahnya, “Delisa cinta Abi karena Allah!”
Kehadiran
Koh Acan juga menghidupkan suasana. Hal ini merupakan human
interest dalam film ini. Ketika dia menawarkan
bakmi buatannya pada Delisa di kamp pengungsian memberikan kesegaran.
Begitu juga dia menengok Delisa yang sakit karena kehujanan. Tentunya
membawakan bakmi kesukaannya.
Film
ini menuju sebuah ending apakah
umminya selamat atau setidaknya ditemukan tubuhnya. Hal ini juga begitu
menggetarkan. Namun, apapun itu Delisa digambarkan sebagai sosok yang ikhlas.
Tentunya dia juga bertekad menuaikan janjinya menyelesaikan hafalan shalatnya.
“Delisa shalat bukan demi kalung, tetapi ingin shalat yang benar.”
Film
yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye ini merupakan film akhir tahun
dan sekaligus juga film menyambut awal tahun 2012 yang manis. Cocok diputar
untuk menyambut peringatan tsunami sekaligus juga hari ibu.
“Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
Pertanyaan Itu Belum Terjawab
“Apa
orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan
kasih sayang, kelembutan cinta....”
“Apa kamu
pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa mereka
lahir dari batu?”
“Mereka
dilahirkan oleh rahim kekejaman.”
Dialog
itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim dan Landung
Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Drama “Mengapa Kau Culik
Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma. Banyak penonton
berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang
selama itu pula suasana dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu,
yang satu dari Jakarta dan satu lagi dari Yogyakarta.
Drama
ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6—8
Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta,
16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja
sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Panggung
diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul, yakni Chalid
Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques, Perancis.
Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan musik oleh Tony
Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon soprannya.
Drama
tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru- Soeharto.
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara tokoh suami dan
istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi menjelang tengah
malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong, sedangkan Ibu bergaun
panjang.
Kalau
dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama menyangkut
tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara, fase kedua
memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria (diperankan oleh
korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.
Berlatarkan
pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan korban-korban
penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama ini serentak menemukan
relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk peristiwa-peristiwa kekerasan
yang pernah terjadi di Indonesia termasuk
pada tahun
1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian kontemporer”
dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan kehidupan nyata;
antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa yang dialami si
Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman sehari-hari sekian
orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang kehilangan bapaknya, diculik
oleh genderuwo penguasa politik.
“Ini
hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata Seno Gumira.
Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis cerpen sebenarnya juga
pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia pernah bergabung dengan Teater
Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N. pada pertengahan 1970-an. Ia pernah
menggelar drama karyanya berjudul “Pertunjukan Segera Dimulai” pada 1976.
Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh
huru-hara politik di Tanah Air.
“Mengapa
Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi pementasan, boleh
jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung diparadigmakan dalam
gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas kesenian dan kehidupan seperti
diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana penantian, misalnya, mungkin masih
seperti mengacu pada “modernisme” Becket, taruhlah dalam Waiting
for Godot.
Namun,
para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak ketinggalan penata
musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah menjembatani apa yang bisa
dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini masih didukung adegan sekilas
yang menjadi penting, ketika Nezar Patria tiba-tiba muncul di panggung beberapa
detik. Sementara saksofon yang melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang
menandai pergantian babak, setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan
mengenaskan sebetulnya hidup di republik ini. Itulah yang membuat hati banyak
orang teriris dan sebagian menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung
pertunjukan.
Di
panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa
mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin
kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan
bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab
oleh
seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu belum
terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas.
Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya”
Diprotes Budayawan
Film
Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi.
Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan protes karena
menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya.
Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap
keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan
sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu
(21/10/2012).
Film
Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai Rp11 miliar. Dalam anggaran
disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selesai film
ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film
dimenangi Putar
Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua
setelah film “Mengejar Angin”.
Nurhadi
menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan
perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang
Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi).
Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi
pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim
terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan
perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.
“Pertentangan
dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar
kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan
Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher untuk menentang film
ini,” katanya.
Budayawan
yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini
mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan
Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek
yang berbeda. Gending Sriwijaya
merupakan
nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang
sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan
Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya
dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
“Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu
di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya.
Erwin
mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis scenario film
karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latar belakang
sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang
dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian
yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben yang digunakan itu
bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu
merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi,” ungkap budayawan
yang juga menjadi pengajar di Palembang ini.
Sama
seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang
diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending
Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja
Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni
Awang
Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan). “Tidak ada
sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan
Sriwijaya,” tegasnya.
Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik “Gundala Gawat”
“Gundala
Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari serial komik
“Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah karya guyonan
belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan cara yang
guyonan,” kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui
oleh si seniman dari Njogja yang
kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan
karakter pengucapan tokohtokoh nomer satu
Indonesia, bahwa, ”Pementasan naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah
tawaran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi,” kata Butet
Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama dengan guyonan gaya OVJ.”
Mendengarkan
ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi
saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013. Terdapat beragam tanggapan dan
respon masyarakat setelah menyaksikannya.
Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara
umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang
antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.
Harian
Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul
”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Namun
toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih
menekankan pada tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini
menjadi
sosok yang
sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan
sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah,
tapi dagelan Jogja terutama plesetannya adalah
”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya memberikan sindiran yang
kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok
koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak laku.”
Begitupun,
Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline,
menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”,
Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung
Basuki, aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya
mintai pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak
habis pikir, GM, membuat adaptasi naskah teater yang seperti
itu,” katanya.
Dan
kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali
berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara
plot cukuplah saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa,
terlampau banyak badutannya.
Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis
oleh seorang GM.”
Teater
Kontekstual
Almarhum
Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah pendapatnya, ”Yang paling
menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara
mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi
yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke
dalam semangat pertunjukan.”
Menyaksikan
secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” dari sejak
gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan
dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra
dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan
perannya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi
dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot
yang saling sinambung dan
terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti
klimaks, cukup mengalir memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap
penonton.
Naik
turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting
yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan
permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi dengan gaya
sampakan atau akting semau gua yang
akhirnya menjadi ciri khas para ”gandriker” yang
sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan spontanitas yang
kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang selalu menjadi ciri mereka
dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk menghasilkan senyum dan
bahkan tawa ngakak. Apalagi
telah dua tahun grup teater dari Njogja ini, absen
dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, salah satu
dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena sakit. Menjadikan
pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik, kiranya, seperti ingin
menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan terus hidup dan berpentas!”
Hanya
saja, saya melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai si Den
Baguse Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak
kedodoran, berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah aktor utama
dalam pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah berakibat bagi
yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang fatal. Yaitu
terlambat masuk ke dalam timing. Sehingga naskah yang semestinya lucu
secara naskah, lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton, alias
hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis. Menyepikan
suasana untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai gambaran tajamnya
persoalan peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam pencernaan penonton.
Untungnya
ada Butet Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris prima dan
konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down
untuk memberi nuansa dramatis pada ending
pementasan. Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu
bersuara besar dan serak, dan pandai mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia
jago orasi yang mumpuni. Sehingga pintar membetot sepenuhnya perhatian
penonton. Hanya tertuju kepadanya, begitulah misteri panggung itu jika sudah
jinak. Namun, kali itu, ia mengalami dilema, terlambat timing.
Sehingga semestinya, kalimat terakhir yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau
saja para superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono…
sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut pula memalu dan menggodam
perasaan penonton. Dan menjadikan
sepi ruang alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi
kuburan. Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus
direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk
mengolah lagi.
Secara
umum, saya melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi
dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan
belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti
sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa
bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu
seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan member cakrawala lain di hati
dan benak pemirsa.
0 Komentar untuk "5 CONTOH TEKS ULASAN SMA/MA LENGKAP "